Jumat, 16 April 2010

I. Indahnya Persahabatan

Tiada mutiara sebening cinta..

Tiada sutra sehalus kasih sayang..

Tiada embun sesuci ketulusan hati..

Dan tiada hubungan seindah persahabatan..

Sahabat bukan

MATEMATIKA yang dapat dihitung nilainya..

EKONOMI yang mengharapkan materi..

PPKN yang dituntut oleh undang-undang..

Tetapi

Sahabat adalah SEJARAH yang dapat dikenang sepanjang masa..

aku bersama bintang

Ternyata hidup bersama Bintang itu tidak mengenakan ya, aku selalu menjadi tempat bertanya ini, itu, apa dan kenapa. Kenapa bukan aku yang ditanya, maksudku pertanyaan seputar hidupku, bukan hanya Bintang.
Bintang sepupuku dari turunan Ibu. Dia tinggal bersamaku belum terlalu lama, dulu waktu belum ada dia selalu aku yang menjadi pusat perhatian. Bintang masuk ke tengah keluargaku karena dia sudah sendiri. Kedua orang tuanya meninggal dunia karena gempa bumi di kampungnya, karena itu dia ada di sini. Tapi itulah yang membuat kehidupanku sedikit berubah. Sekarang lain ceritanya. Bintang…, Bintang…, selalu Bintang.
Aku tidak iri,sirik dan sebagianya hanya aku sedih. Bintang berbeda denganku, tubuhnya lebih Atletis dan kepintarannya di atasku. Bayangkah baru sebulan saja dia bersekolah di tempatku, sudah berhasil merebut perhatian banyak temanku.
Karena itu, setiap hari sekolah merupakan nightmare bagiku. Seperti pagi ini di lorong sekolah.
“Tom, Bintang mana? Kok ga sama kamu jalannya?” tanya Cindi manja. Cindi merupakan salah satu cewek yang kutaksir, tapi sekarang perhatiannya hanya untuk Bintang.
“Bintang sakit Cin, jadi ga masuk hari ini,” jawabku.
“Kasihan ya. Sakit apa Tom?” tanya Ratu. Cewek yang juga suka sama Bintang.
“Biasalah. Sakit demam,” terangku.
“Demam cinta kali. Apa jangan-jangan terlalu banyak mikirin aku?” gumam Usi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Huh, enak aja. Mikirin aku kali Si,” balas Cindi tidak mau kalah. Ketiga gadis itu ribut sendiri dan aku tinggalkan saja mereka. Buat apa aku melerai mereka percuma, nanti juga baikkan lagi. Sebelum aku masuk kelas, di depan pintu berdiri Robert dan Opik.
“Tom, Bintang mana?” tanya Robert. Pertanyaan yang sama nih. “Dia sakit,” jawabku pendek.
“Wah ga seru nih. Hari ini kan ada pertandingan basket antar kelas. Siapa yang bisa dimainkan ya?” Opik kecewa dan bertanya pada Robert.
Pilih aku, ajak aku dong, gumamku dalam hati.
“Terpaksa deh kita ajak Si Dodi aja,” jawab Robert. Bah…, Dodi yang di ajak, kenapa bukan aku?
Biarlah, aku berjalan dengan langkah gontai bagaikan orang mabuk. Aku kecewa, dulu aku yang menjadi andalan mereka. Salahku juga sih, semenjak ada Bintang, aku jadi malas melakukan apapun.
Pertandingan basket antar kelas diadakan sebelum tibanya waktu jam istirahat. Ada satu mata pelajaran yang harus di selesaikan terlebih dahulu dan aku tidak bisa fokus dengan pelajaran yang di ajarkan. Bintang dan semua tentang dia membayang dalam benakku.
Pelajaran akhirnya usai, kericuhan terjadi di dalam kelasku. Semua teman bersemangat mendukung tim basket kelasku bertanding. Besar harapan mereka untuk merebut juara. Lawan yang akan dihadapi kelas X A, junior kami. Kekalahan akan memalukan kelas kami.
Pertandingan akhirnya dimulai. Kelas kami diwakili Robert, Opik, Dodi, Wisnu dan Restu. Di bangku cadangan ada Amri,Carli,Pepeng dan Nur minus Bintang si andalan kelas.
Pertandingan hanya berlangsung selama dua babak, di mana setiap babak menghabiskan waktu lima belas menit, berbeda dengan yang biasanya di mana seharusnya dua puluh menit. Pertandingan berjalan ketat, silih berganti kedua tim berusaha memasukan bola ke dalam keranjang. Saling sikut, berebut bola, tabrakan tubuh dan pelanggaran kerap terjadi. Teriakan penyemangat bergantian terdengar, apalagi jika bola yang ditembakkan masuk.
Dodi merupakan kelemahan tim kelasku, seringkali penghadangannya gagal dan pemain lawan dapat melakukan Drive dengan bolanya dan Lay-up memasukan bola. Bagaimana lagi, tim cadangan juga tidak terlalu hebat permainannya.
Babak pertama berakhir dengan kekalahan tim kelasku. Skor sementara 34-26 buat tim lawan. Aku sebenarnya ingin berjalan mendekat ke tim kelasku, tapi suara Cindi dan teman kelasku yang lain membuatku berhenti.
“Coba ada Bintang ya?” hela Cindi.
“Bener. Ga mungkin kita bisa kalah,” balas Rere pasti.
“Udahlah, kita berdoa aja! Jangan bergantung sama satu orang aja,” Wira ketua kelasku mengingatkan Cindi dan Rere.
“Iya sih, tapi tetep aja tuh kita kalah,” Cindi tetap tidak terima.
“Mungkin ada sabotase kali?” seru Desti.
“Sabotase? Maksud kamu apa Des?” tanya Dani.
“Itu, ada yang ga sukakan dengan kehadirinan Bintang. Siapa tahu dia yang sabotase agar Bintang ga masuk hari ini?” seru Desti sekali lagi sambil matanya menatap padaku.
Lainnya juga mengikuti pandangan Desti. Aku mau membalas ucapan mereka, tapi suara peluit tanda dimulainya babak kedua berbunyi.
Ya sudah, aku tinggalkan mereka semua. Lebih baik aku kembali saja ke dalam kelas. Aku tidak peduli lagi dengan hasil yang didapatkan oleh tim kelasku.
Pertandingan berakhir buruk, kalah telak dengan skor 71-50 harus diterima oleh tim kelasku. Wajah lesu dan malu terlihat dari raut muka teman-temanku yang berjalan masuk ke dalam kelas. Dodi dan Opik berjalan terpincang-pincang, mereka cedera.
Kabar burung yang disebarkan oleh Desti menyebar cepat bagaikan virus flu yang mudah menyerang siapapun yang seruangan dengan si penderita. Begitu juga waktu ini, mata-mata sibuk menatapku dan mulut-mulut ramai membicarakanku.
Aku menyadari satu kesalahan yang tidak bisa aku tarik lagi. Aku pernah berkata bahwa sejak ada Bintang, semuanya melupakan aku dan aku bicara pada Desti. Hingga tidak salah jika Desti berpikir aku melakukan sabotase.
Nightmareku berakhir dengan sempurna, jam usai sekolah menyelamatkanku. Aku cepat berlari pulang dengan ucapan yang masih terngiang di telingaku. “Tommy melakukan Sabotase pada Bintang.”
Aku pulang ke rumah dengan sebuah rencana, meminta Bintang bicara pada teman-teman agar nama baikku kembali. Harapan dan rencanaku gagal total oleh sebuah keadaan.
Lingkungan rumahku ramai oleh banyak orang, asap membumbung tinggi dan sirene mobil pemadam kebakaran terdengar nyaring. Api menjilat angkasa terlihat jelas pada setiap mata yang memandang lurus ke depan. Di sana ada rumahku dan Bintang di dalamnya. Aku berlari kencang menerobos barisan manusia yang hanya melihat tanpa berbuat apa-apa. Tubuhku berhenti sejenak saat aku sampai di depan rumah. Rumahku sedang terbakar hebat, ada lima rumah lainnya yang juga terbakar.
Bintang, oh Bintang bagaimana keadaanannya sekarang?
Aku mencoba berlari masuk ke dalam rumah yang masih menyala dan memberikan panasnya. Tapi tubuhku tertahan oleh banyak tangan yang menghentikan langkahku. Mereka melarangku masuk.
Aku menunggu selama tiga jam bersama kedua orang tuaku yang datang tergesa-gesa dua jam lalu. Kami bertiga hanya bisa menatap dan berdoa agar Bintang tidak apa-apa yang sebenarnya itu tidak mungkin terjadi.
Penantian kami berakhir sia-sia, walaupun api dapat dipadamkan dan tujuh rumah menjadi saksi bisu atas keganasan serangan api. Tubuh Bintang ditemukan terbakar dan tidak bisa diselamatkan. Dia menjadi satu-satunya korban dari kesalahan manusia lainnya. Kebakaran ini disebabkan meledaknya sebuah kompor gas di mana penghuninya sedang keluar rumah pergi bekerja.
Bintang … oh Bintang, aku … aku …
Aku tidak dapat berkata-kata lagi hanya bisa mendoakanmu, Bintang. Semoga kau dapat berkumpul bersama kedua orang tuamu lagi.
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini